Senin, 21 Oktober 2013

PERLAWANAN RAKYAT TERHADAP KOLONIALISME BARAT



BAB II 

   Perkembangan Kolonialisme Dan Imperalisme Barat
Di Indonesia

STANDAR KOMPETENSI  :  2. Memahami proses kebangkitan nasional
KOMPETISI DASAR           :  2.1. Menjelaskan proses perkembangan kolonialisme dan 
                                                        imperalisme Barat, serta pengaruh yang ditimbulkannya di
                                                        berbagai daerah
INDIKATOR                         :
o   Mendeskripsikan bentuk-bentuk perlawanan rakyat dalam menentang kolonialisme Barat di berbagai
  daerah di Indonesia
o   Mengidentifikasi daerah –daerah persebaran agama Kristiani di Indonesia

A.     Perlawanan  Rakyat  Menentang  Kolonialisme  Barat

1.        Perlawanan Terhadap Portugis

a.      Perlawanan Demak
  Setelah berhasil menguasai Malaka, Portugis mendominasi perdagangan di wilayah  
  tersebut sehingga merugikan jaringan pedagang Islam di Indonesia. Untuk melawan
  dominasi tersebut maka Raden Patah mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di
  bawah pimpinan putranya Adipati Unus pada tahun 1513. Penyerangan ini mengalami
  kegagalan  karena faktor jarak yang terlalu jauh dan juga kalah dalam persenjataan dan
  strategi perang. Ketika Portugis menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, Demak melakukan  penyerangan kembali pada tahun 1527 di bawah pimpinan Fatahillah, Serangan ini
  berhasil dengan gemilang, sehingga Portugis harus menunggalkan Sunda Kelapa yang  namanya kemudian diganti menjadi Jayakarta.

b.      Perlawanan Ternate
Perlawanan Ternate didorong oleh tindakan bangsa Portugis yang sewenang-wenang
dan merugikan rakyat. Perlawanan Ternate dipimpin oleh Sultan Hairun, Portugis sempat kewalahan sehingga kemudian menggunakan siasat licik dengan mengajak Sultan Hairun berunding namun kemudian dibunuh. Peristiwa ini membuat marah rakyat Ternate yang kemudian mengadakan serangan terhadap Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah putra Sultan Hairun. Portugis mengalami kekalahan dan terpaksa melarikan diri menyingkir ke Timor Leste.

c.       Perlawanan Aceh
Untuk melawan dominasi Portugis di Malaka, Kesultanan Aceh meminta bantuan dari Turki dan India. Dengan  bantuan dari Turki maupun kerajaan-kerajaan lainnya, Aceh mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Malaka pada tahun 1568 di bawah pimpinan Sultan Alaudin Riayat Syah,  namun penyerangan tersebut mengalami kegagalan. Penyerangan terhadap Portugis dilakukan kembali pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah. Pada tahun 1629, Aceh menggempur Portugis di Malaka dengan sejumlah kapal yang melibatkan 19.000 prajurit. Pertempuran sengit tak terelakkan yang kemudian berakhir dengan kekalahan di pihak Aceh.

2.     Perlawanan Terhadap VOC
a.         Perlawanan Mataram
Pada masa kekuasaan Sultan Agung Hanyokro Kusumo, Mataram dua kali menyerang kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628. Pasukan
Mataram  dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628,
               kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara
              Dipati Mandurorejo dan Upasanta. Serangan pertama mengalami kegagalan yang
              disebabkan beberapa faktor yaitu : kurangnya perbekalan, kalah dalam persenjataan
              dan kurang teliti dalam memperhitungkan medan pertempuran.
              Serangan kedua, pasukan Mataram dipimpin  Adipati Juminah, K.A. Puger, dan
              K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629.
Serangan kedua inipun gagal,karena lumbung padi persediaan makanan banyak yang dibakar oleh VOC. ( Sumber : Soegiharsono, dkk. 2008 : 59 )
b.     Perlawanan Kesultanan Gowa ( Makassar )
Dalam lalu lintas perdagangan,Gowa menjadi bandar utama  jalur perdagangan antara
Malaka dan Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka,
maka singgah dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya. Dengan posisi yang sangat strategis tersebut VOC tentu saja ingin menguasai Makasar. Menghadapi. perkembangan yang semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Sementara itu VOC menjalin hubungan dengan raja Bone yang bernama Aru Palaka.
Meletuslah perang antara VOC dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang dibantu oleh Aru Palaka menggempur Gowa. Karena kalah dalam
 persenjataan, Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh
pasukan Aru Palaka. Perang  diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya sebagai berikut :
a) Gowa harus mengakui hak monopoli VOC
b) Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Gowa.
c) Gowa harus membayar biaya perang.
d) Di Makasar dibangun benteng-benteng VOC

c.         Perlawanan Banten
VOC ingin memperoleh monopoli atas perdagangan lada di Banten, namun ditentang oleh raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa sehingga pecah pertempuran pada tahun 1656 yang diakhiri dengan perdamaian tahun 1659. Untuk mengalahkan Banten VOC menerapkan siasat adu domba dengan memanfaatkan konflik internal dalam tubuh kerajaan Banten. VOC membantu putra Sultan Ageng yang bernama Sultan Haji, sehingga karena kalah dalam persenjataan Sultan Ageng mengalami kekalahan dan akhirnya ditangkap. Perlawanan dilanjutkan oleh Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.

3.        Perlawanan Terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
 
Perhatikan !
Memasuki abad ke-19, berbagai perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda terjadi hampir di sebagian besar wilayah Kepulauan Indonesia. Secara umum perlawanan pada abad ini dibedakan dalam dua bentuk, yaitu :

  1. Perlawanan bersenjata oleh kerajaan atau elite lokal.
  2. Perlawanan yang melibatkan rakyat biasa berupa gerakan sosial melawan keadaan atau peraturan yang tidak adil, gerakan ratu adil yang didasari ideologi mesianistis dan gerakan sekte keagamaan.

a.         Perlawanan Oleh Kerajaan atau Elite Lokal

1.      Perang Paderi ( 1803 – 1837 )
Diawali munculnya Gerakan Paderi yang bertujuan ingin memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, Sumatera Barat yang mendapat perlawanan dari golongan adat.  Tokoh kaum Paderi antara lain : Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Nan Cerdik.

Secara garis besar dibagi dalam 3 periode perang :
1). Periode 1803 – 1821
      Tahap ini murni perang saudara antara Kaum Paderi dan Kaum Adat karena
      mempertahankan keyakinan masing-masing.Dalam perkembangannya kaum
      Adat  terdesak sehingga akhirnya meminta bantuan kepada Belanda.
2). Periode 1821 – 1832
      Kaum Paderi menghadapi dua musuh sekaligus yaitu kaum Adat dan Belanda,
      Dalam periode ini Belanda mengalami kesulitan karena kekuatannya sedang
       dipusatkan di Pulau Jawa untuk menumpas perlawanan Diponegoro, sehingga
       mereka menawarkan perdamaian yang ditandai terjadinya Perjanjian Masang.
      Setelah perlawanan Diponegoro berakhir, Belanda kembali ke Minangkabau
      dengan pasukan yang lebih kuat di bawah pimpinan Letkol Elout dan Mayor
      Michiels untuk menggempur kaum Paderi.
3).  Periode 1832 -1837
      Kaum Adat menyadari kesalahannya kemudian bersatu dengan kaum Paderi
       melawan Belanda. Namun karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap
      dan kuat akhirnya satu persatu wilayah kaum Paderi dapat diduduki dan
      puncaknya Benteng Bonjol dapat direbut Belanda yang memaksa Tuanku
       Imam Bonjol dan pasukannya menyerah kemudian ditangkap dan diasingkan.

2.      Perlawanan Pattimura ( 1817 )
Perlawanan dilatarbelakangi berkuasanya kembali Belanda di Maluku setelah diserahkan oleh Inggris sesuai hasil Konvensi London. Belanda kembali memberlakukan sistem penyerahan wajib ( verplichte leverentie ) dan kerja paksa (rodi) yang menyebabkan kesengsaraan rakyat Maluku. Adapun tokoh perlawanan antara lain : Thomas Matulessi atau Pattimura, Anthony Rheebok, Lukas Latumahina, Christina Marta Tiahahu, dll.  Perlawanan meletus ditandai dengan penyerbuan Benteng Duurstede di Saparua pada tanggal 15 Mei 1817, yang berhasil membunuh residen Van den Berg beserta seluruh pasukannya. Belanda mengirimkan pasukan bantuan dari Ambon yang akhirnya berhasil menguasai kembali Benteng Duurstede dan mendesak pasukan Pattimura sehingga satu persatu pimpinan pasukannya tertangkap termasuk Pattimura sendiri yang akhirnya dihukum gantung.

3.      Perlawanan Diponegoro ( 1825 – 1830 )
1). Sebab-Sebab Umum :
·         Wilayah Mataram semakin sempit dan terpecah menjadi kerajaan kecil.
·         Belanda ikut campur tangan dalam urusan intern kesultanan, misalnya soal
                                    pergantian raja dan birokrasi kerajaan.
·         Timbulnya kekecewaan di kalangan para ulama, karena masuknya budaya barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
·         Hak para bangsawan dan pegawai kerajaan dikurangi.
·         Penderitaan rakyat akibat adanya kerja paksa dan dibebani berbagai pajak
2). Sebab Khusus :
·           Pemasangan patok oleh Belanda untuk pembangunan jalan yang melintasi tanah dan makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa ijin.

3). Jalannya Perang :
      Dalam perlawanan Pangeran Diponegoro dibantu oleh tokoh-tokoh seperti
       Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, Pangeran
      Dipokusumo, Nyi Ageng Serang dll. Diponegoro menerapkan taktik perang
      gerilya dan markas pasukannya juga berpindah-pindah dari satu tempat ke
      tempat lain, awalnya di Goa Selarong, kemudian pindah ke Plered, Dekso dan
      Pengasih sehingga menyulitkan Belanda untuk menumpasnya.            Berbagai
       siasat diterapkan Belanda seperti mendatangkan pasukan dari Belanda, siasat
       Benteng Stelsel yaitu membangun benteng di daerah yang telah dukuasai dan
      antar benteng dihubungkan oleh pasukan gerak cepat dengan tujuan
       mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Posisi pasukan Diponegoro
      semakin terjepit sehingga satu persatu para pembantunya menyerah.
      Akhirnya Belanda menerapkan tipu muslihat yaitu mengajak Pangeran
      Diponegoro berunding di Magelang,tapi kemudian ditangkap dan selanjutnya
 diasingkan ke Menado dan dipindah ke Makassar sampai wafat.
4.      Perlawanan Aceh ( 1873 – 1912 )
Penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melakukan intervensi
ke Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh karena Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda.
Ekspedisi pertama dikirim ke Aceh dan mendarat tanggal 5 April 1873 yang selanjutnya menyerang Masjid Raya namun dapat digagalkan pasukan Aceh. Tokoh perlawanan Aceh terdiri dari Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dien, Cut Mutia,dll.
Belanda mencoba menerapkan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar
kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini  tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
 Selanjutnya Belanda mengirim seorang ahli tentang Islam         yang bernama
Dr. Snouck Hurgronye untuk menyelidiki kehidupan sosial budaya rakyat Aceh dan hasilnya dituangkan dalam buku yang berjudul De Atjehers. Berdasarkan pendapat Dr. Snouck Hurgronye pemerintah Belanda memutuskan bahwa untuk menumpas perlawanan Aceh harus dengan siasat kekerasan.
      Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan  Serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van Heutz. Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu  para pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Akhirnya Aceh terpaksa mengakui kekuasaan Belanda setelah menandatangani Plakat Pendek ( Korte Verklaring ).

b.        Gerakan Rakyat / Gerakan Sosial

Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyat melakukan pergolakan sosial. Karena dalam sistem tidak ada lembaga-lembaga untuk menyalurkan ketidakpuasan rakyat, maka jalan yang ditempuh adalah dengan mengadakan gerakan sosial sebagai protes sosial.
Adapun ciri-ciri umum gerakan sosial tersebut adalah :

1).  Tradisional arkais, artinya organisasi, program dan strategi yang digunakan
masih sederhana.
2).  Gerakannya mudah ditindas oleh kekuatan militer kolonial.
3).  Bersifat abortif, artinya gerakan tersebut umurnya sangat pendek.
4).  Merupakan pergolakan lokal atau regional tanpa koordinasi satu dengan lainnya
5).  Orientasi tujuannya masih kabur, karena tidak ada gambaran untuk mencapai tujuan tersebut. ( Sumber :  Sutarto, dkk. 2008 : 96 ).

Secara umum gerakan sosial ini menurut Sartono Kartodirjo dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : ( Sumber : Depdiknas, 2005 : 35 ).

1).  Gerakan melawan kekerasan/peraturan yang tidak adil, misalnya :
       -  Kerusuhan di Ciomas, Jawa Barat tahun 1886.
       -  Kerusuhan di Condet, yang dipimpin Entong Gendut tahun 1916.
       -  Kerusuhan di Tangerang, yang dipimpin Kaiin, tahun 1924.
       -  Kerusuhan di Genuk,yang dipimpin oleh Sukaemi tahun 1935.
2).   Gerakan Ratu Adil
       Gerakan ini mempercayai akan datangnya seorang tokoh yang akan membebaskan mereka dari penderitaan, yang disebut sebagai Ratu Adil atau disebut juga Imam Mahdi. Tokoh –tokoh pemimpin gerakan ini biasanya mengaku menerima panggilan sebagai pemimpin agama, nabi atau juru selamat.
       Contoh gerakan Ratu Adil :
-          Gerakan di desa Gedangan, Sidoarjo, yang dipimpin Kasan Mukmin pada tahun 1903.
-          Gerakan di desa Bendungan, Kediri, yang dipimpin oleh Kyai Dermojoyo tahun 1906.
-          Gerakan di desa Bergas Kidul, Semarang oleh Dietz tahun 1918.

3).   Gerakan Sekte Kegamaan
       Gerakan keagamaan timbul sebagai protes terhadap kebobrokan moral akibat pengaruh budaya Barat yang dibawa oleh Belanda.
       Contoh gerakan keagamaan :
-          Gerakan Budiah di desa Kalisalak, Pekalongan yang dipimpin Haji Muhammad Rifangi tahun 1850.
-          Gerakan Keagamaan Jawa-Pasundan, di daerah Cirebon yang dipimpin oleh Sadewa atau dikenal sebagai Madrais.

B.      PERSEBARAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA

Kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia selain untuk kepentingan perdagangan, mereka juga mengemban misi suci ( Gospel ) yaitu menyebarkan agama Nasrani.
Bangsa Spanyol dan Portugis yang menganut agama Katolik membawa serta para Misionaris yaitu tokoh penyebar agama Katolik, misalnya Fransiskus Xaverius yang menyebarkan agama Katolik di Maluku, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Kedatangan bangsa Belanda membawa agama Kristen Protestan melalui lembaga yang disebut Zending. Adapun tokoh-tokoh penyebar agama Kristen Protestan antara lain adalah : Dr. Nomensen di daerah Tapanuli, Sumatera Utara, Sebastian Danchaerts di daerah Ambon, Maluku, Heurnius di Saparua dan Jakarta.
Selain itu muncul pula tokoh-tokoh lokal sebagai penyebar agama Kristen, misalnya Kyai Tunggul Wulung di Mojowarno, Jawa Timur dan Kyai Sadrach di daerah Bagelen, Jawa Tengah. Tokoh-tokoh lokal ini mempertemukan budaya dan kepercayaan lokal dengan agama Nasrani, sehingga persebarannya bisa sampai di pelosok pedesaan.

2 komentar: